Oleh : Rikky Fermana (Opini)
DJ ~ BANGKA BELITUNG – Kebijakan regulasi pertambangan yang terindikasi menjadi perkara kasus dugaan korupsi pertambangan yang melibatkan mantan Direktur Jenderal Minerl dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ridwan Djamaluddin, telah menarik perhatian masyarakat. Namun, dampaknya ternyata jauh lebih luas daripada sekadar berita sensasional. Kasus ini menjadi momentum penting untuk mengevaluasi kembali industri pertambangan timah di Bangka Belitung, khususnya terkait dengan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) bagi PT Timah Tbk dan perusahaan tambang yang memiliki smelter timah.
Menurut Direktur Babel Resources Institute (BRiNST), hasil riset mereka menunjukkan bahwa eksploitasi yang tak terkendali dalam industri ini dapat berdampak buruk pada bisnis pertimahan nasional. Pada tahun 2022, Indonesia mengekspor sekitar 74.408 metrik ton timah, dengan sebagian besar berasal dari PT Timah Tbk dan smelter swasta. Namun, situasi ekspor yang jor-joran telah mencuat, terutama dengan masih adanya praktik ilegal dalam penambangan dan perdagangan timah di kalangan kolektor atau pengepul timah ilegal di Bangka Belitung.
BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) juga telah menyoroti perlunya pembenahan tata kelola industri timah dalam negeri. Mereka mencatat potensi kerugian negara sebesar Rp2,5 triliun akibat pertambangan tanpa izin (PETI) di wilayah operasi PT Timah Tbk (TINS). Temuan ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi pihak-pihak terkait, termasuk Aparat Penegak Hukum (APH).
Berdasarkan data hingga Juni 2023, ekspor timah dari Indonesia mencapai 31.876,56 metrik ton, justru sebagian besar berasal dari smelter swasta. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang efisiensi dan tata kelola dalam industri pertambangan timah di negara ini.
BRiNST juga menyoroti perluasan izin perusahaan smelter timah yang relatif kecil. Dalam banyak kasus, perusahaan dengan izin pengelolaan di bawah 10 ribu hektar, bahkan ada yang di bawah seribu hektar, berkontribusi besar pada ekspor timah. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang pengaturan RKAB yang mungkin perlu dievaluasi dan disesuaikan dengan tahapan eksplorasi yang baik dan benar.
Di sisi lain, PT Timah Tbk sebagai pemilik wilayah IUP konsesi terbesar di Indonesia menghadapi tantangan produksi dan penjualan yang menurun drastis. Pada produksi bijih timah mereka menurun pada semester 1 tahun 2023 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dan harga jual rerata logam timah juga mengalami penurunan yang signifikan.
Meskipun harga timah berfluktuasi, PT Timah Tbk masih mencatatkan laba positif hingga semester 1-2023 untuk bertahan mengoperasional roda perusahaan dan menghidupi ribuan karyawannya. Tentunya Situasi ini memunculkan pertanyaan tentang masa depan industri pertambangan timah Indonesia di tengah persaingan global yang ketat dan tuntutan untuk tata kelola yang lebih baik. Sementara perusahaan tambang yang memiliki smelter meraih keuntungan melebihi ambang kewajaran.
Dalam menghadapi semua tantangan ini, perlu adanya upaya serius untuk mengevaluasi dan meningkatkan tata kelola industri pertambangan timah di Indonesia. Kasus korupsi yang timbul dari kebijakan masih dalam pengungkapan, meskipun hal ini harus menjadi panggilan bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk bekerja sama guna menciptakan lingkungan bisnis yang lebih transparan, adil, dan berkelanjutan dalam industri ini.
Mengatasi Tantangan Industri Pertambangan Timah di Indonesia : Momentum untuk Perubahan
Kebijakan regulasi pertambangan yang menjerat Ridwan Djamaluddin ini menjadi perkara dugaan korupsi, telah membuka sebuah pintu yang penting untuk merefleksi kembali industri pertambangan timah di Indonesia. Selain menjadi isu hukum yang signifikan, kasus ini juga mengungkap beberapa masalah sistemik yang telah mengakar dalam industri pertambangan timah kita.
Salah satu isu yang mencuat adalah pengelolaan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk smelter timah. Rencana eksploitasi yang tidak terkontrol, yang mungkin dibenarkan oleh RKAB, dapat berdampak merugikan pada bisnis pertimahan nasional. Ekspor timah yang meningkat secara dramatis dapat menyebabkan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, yang pada akhirnya akan memengaruhi harga timah, yang juga berdampak pada perusahaan-perusahaan pertambangan.
Pemerintah harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap RKAB perusahaan smelter timah di Indonesia. Ini adalah langkah pertama yang perlu diambil untuk mengendalikan eksploitasi yang tidak terkendali dan memastikan pertambangan timah di Indonesia berjalan secara berkelanjutan. Evaluasi ini harus mencakup ketatnya pengawasan terhadap penambangan ilegal dan perdagangan timah di luar regulasi yang berlaku.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar ekspor timah (ingot/balok) berasal dari smelter swasta, dan semakin banyak perusahaan dengan izin pengelolaan yang relatif kecil terlibat dalam bisnis ekspor ini. Pertanyaannya adalah apakah izin-izin ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan yang benar dan apakah mereka mematuhi tahapan eksplorasi yang benar. Perluasan izin perusahaan smelter timah yang relatif kecil harus diperiksa lebih dalam.
Selain itu, kasus ini menyoroti kebutuhan akan perbaikan dalam tata kelola industri timah dalam negeri. Ada potensi besar kerugian negara akibat pertambangan tanpa izin (PETI), dan hal ini harus menjadi perhatian serius. Aparat Penegak Hukum (APH) juga harus aktif dalam menindak para pelaku PETI ini.
PT Timah Tbk, sebagai pemain utama dalam industri pertambangan timah, menghadapi tantangan produksi dan penjualan yang menurun. Hal ini disebabkan oleh penurunan harga timah di pasar global dan persaingan yang semakin ketat. Meskipun demikian, PT Timah Tbk tetap mencatatkan laba positif, menunjukkan ketahanan perusahaan dalam menghadapi kondisi sulit.
Kasus ini memberikan pelajaran berharga bagi industri pertambangan timah di Indonesia. Ini adalah saat yang tepat bagi pemerintah, perusahaan pertambangan, dan masyarakat sipil untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan bisnis yang lebih transparan, berkelanjutan, dan adil. Perubahan harus dimulai dari tata kelola yang lebih baik, pengawasan yang ketat, dan komitmen bersama untuk menjaga kekayaan alam negara ini sambil menjaga kepentingan masyarakat dan bisnis. Hanya dengan langkah-langkah yang tepat, kita dapat memastikan bahwa industri pertambangan timah Indonesia tetap berjalan dengan baik dalam jangka panjang.
Menuju Tata Kelola Pertambangan Timah yang Lebih Transparan dan Berkelanjutan
Keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengubah termin pengajuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pertambangan mineral dan batu bara (Minerba) menjadi tiga tahun adalah langkah yang patut dipertimbangkan. Hal ini dianggap sebagai solusi untuk mengatasi masalah RKAB yang selama ini menjadi sumber kekhawatiran dalam industri pertambangan timah di Indonesia.
RKAB yang berlaku setiap tahun dianggap terlalu cepat dan mungkin tidak memungkinkan perusahaan untuk merencanakan dan melaksanakan proyek dengan efisien. Dengan perubahan ini, diharapkan perusahaan dapat memiliki visi jangka panjang yang lebih baik untuk mengelola aset pertambangan mereka.
Namun, perlu diingat bahwa persetujuan RKAB ini seharusnya tidak hanya berlaku di atas kertas. Kasus-kasus korupsi dan praktik ilegal dalam pertambangan timah di beberapa wilayah menunjukkan bahwa penelusuran asal usul bijih barang masih diragukan. Persetujuan RKAB harus lebih ketat dan harus melibatkan evaluasi dan verifikasi yang teliti untuk memastikan bahwa perusahaan memiliki deposit/cadangan yang sah di wilayah tersebut.
Salah satu kasus terkait RKAB yang mencuat adalah kasus PT Antam di Sulawesi Tenggara. RKAB yang diberikan kepada perusahaan swasta ternyata tidak sesuai dengan ketentuan, dan akibatnya, perusahaan tersebut mendapatkan bijih nikel milik negara (PT Antam). Hal ini menimbulkan kerugian besar bagi negara. Demikian halnya dengan smelter timah swasta di Bangka Belitung produksi bijih timah dan ekspor timahnya melebihi dari luas RKAB yang dimiliki.
Tentu saja, kasus semacam ini harus dihindari di masa depan. Oleh karena itu, penyederhanaan aspek penilaian RKAB perusahaan pertambangan harus diperhatikan dengan serius. Peninjauan ulang RKAB Bangka Belitung juga diperlukan, mengingat indikasi korupsi yang terungkap akhir-akhir ini.
Selain dari perspektif hukum, ada juga aspek lingkungan yang perlu diperhatikan. Pertambangan ilegal dan praktik yang tidak bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam dapat merugikan lingkungan dan masyarakat setempat selain pendapatan devisa negara. Oleh karena itu, perusahaan pertambangan, termasuk PT Timah Tbk, perlu melakukan pembenahan internal dan mengawasi ketat kegiatan kemitraan yang menggarap wilayah produksi mereka untuk meminimalisir kebocoran bijih timah.
Di tengah tantangan ini, upaya pemerintah untuk menerapkan teknologi informasi dalam proses pengesahan RKAB adalah langkah yang positif. Ini dapat mempercepat pengesahan RKAB dan menjadikannya lebih transparan. Namun, yang paling penting adalah bahwa seluruh proses RKAB harus dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan hukum, sehingga dapat memberikan manfaat yang adil bagi masyarakat dan negara.
Kasus-kasus korupsi dan praktik ilegal dalam pertambangan timah harus dijadikan pelajaran berharga. Masa depan industri pertambangan timah Indonesia akan lebih cerah jika ada komitmen bersama untuk menciptakan tata kelola yang lebih baik, transparan, dan berkelanjutan. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita dapat memastikan bahwa kekayaan alam negara ini tetap terjaga sambil memberikan manfaat yang adil bagi semua pihak. (*)
Penulis : Rikky Fermana, Ketua DPD PJS Bangka Belitung & Penanggungjawab KBO Babel)